
CINTA adalah bahasa yang tak perlu diterjemahkan—ia melintasi batas, melampaui budaya, dan menyentuh hati manusia di berbagai belahan dunia.
Dalam ajaran Islam, cinta bukanlah hal yang tercela. Justru, ia adalah karunia dari Allah SWT. Cinta kepada Sang Pencipta menjadi dasar yang memperkuat iman seorang Muslim.
Namun, karena manusia diciptakan dengan emosi yang kompleks, terkadang cinta bisa mengaburkan arah. Terutama cinta romantis yang menggebu-gebu di usia muda—penuh euforia, kedekatan emosional, dan kenikmatan berbagi cerita. Tanpa sadar, rasa ini bisa menjerumuskan jika tidak diselaraskan dengan petunjuk ilahi.
Di tengah ajaran Islam, hubungan yang tidak halal punya posisi yang serius. Bukan sekadar larangan tanpa alasan, tapi bentuk perlindungan dari kerusakan batin dan kegelisahan jiwa.
Dalam Al-Qur’an, Surat Al-Isra ayat 32, Allah SWT melarang kita mendekati zina. Tak hanya karena dampak fisik, tapi juga luka psikologis yang seringkali tak terlihat.
Kalau dilihat dari sudut pandang psikologi, khususnya menurut konsep diri dari Carl Rogers, terlibat dalam hubungan yang bertentangan dengan nilai-nilai hidup bisa menimbulkan konflik batin. Rasa bersalah, malu, dan cemas menjadi tanda bahwa hati kita sedang kehilangan arah.
Sebagai Muslim, sholat adalah jembatan spiritual dengan Allah. Tapi jika hati sedang resah karena hubungan yang tak sesuai syariat, ibadah pun bisa terasa hampa. Sulit untuk khusyuk ketika hati diliputi gelisah.
Dampaknya bukan cuma terasa saat berdoa. Rasa hampa itu bisa menjalar ke hal-hal lain: kehilangan semangat untuk membaca Al-Qur’an, menjauh dari kegiatan keagamaan, dan akhirnya terasing dari kedekatan dengan Allah SWT. Semua ini berpotensi membuat seseorang merasa kosong dan kehilangan tujuan.
Bayangkan seorang pemuda yang terjebak dalam cinta yang tak halal. Di satu sisi, dia ingin menjaga keimanan. Di sisi lain, dia sudah terlalu jauh terbawa perasaan. Pada akhirnya, ia bisa mulai kehilangan rasa hormat pada dirinya sendiri—merasa tak lagi pantas di hadapan Allah, dan mulai sulit memaafkan dirinya.
Lebih parahnya lagi, hubungan seperti ini bisa menciptakan ketergantungan emosional yang tak sehat. Validasi dan rasa berharga ditaruh sepenuhnya pada pasangan. Akibatnya, muncullah rasa cemas, posesif, bahkan cemburu berlebihan. Semua itu hanya memperdalam luka di hati.
Tak jarang juga, dampak hubungan yang keliru ini terbawa ke masa depan. Luka yang belum sembuh bisa membuat seseorang sulit percaya pada orang lain, sulit membangun hubungan yang sehat, dan selalu dihantui rasa takut serta malu atas masa lalu.
Namun penting dipahami: jatuh cinta itu sendiri bukanlah dosa. Itu bagian alami dari kehidupan. Tapi bagaimana cara kita menyikapinya, itulah yang menentukan apakah cinta itu membawa berkah atau justru menjauhkan kita dari Allah.
Menjauhi hubungan yang dilarang bukan berarti mematikan rasa cinta. Tapi justru mengarahkan perasaan itu agar tumbuh dalam jalan yang benar, dalam bentuk hubungan yang halal, yang dibangun di atas pondasi iman, saling menghargai, dan niat yang lurus.
Larangan Allah bukan tanpa maksud. Ia tahu betul bahwa cinta bisa menjadi jalan yang menenangkan, tapi juga bisa melukai jika tak dikendalikan. Saat kita membiarkan cinta kepada manusia mengalahkan cinta kepada-Nya, di situlah bahaya itu dimulai—doa menjadi beban, ibadah terasa berat, dan ketenangan hati pun menghilang.
Maka, ketika kita mulai menyukai seseorang, tanyakan dulu pada diri: apakah rasa ini akan mendekatkan saya pada Allah? Atau justru menjauhkan saya dari-Nya?
Dengan menahan diri dan mematuhi aturan-Nya, kita bisa menjaga jiwa tetap sehat, harga diri tetap utuh, dan meraih cinta yang tak hanya membahagiakan, tapi juga membawa berkah.
Dan yang tak kalah penting: Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat. Kalau kamu pernah terjebak dalam hubungan yang tak benar, belum terlambat untuk berbalik arah. Allah selalu membuka pintu bagi siapa pun yang ingin kembali dan memperbaiki diri dengan sungguh-sungguh.