
SETIAP menjelang akhir Ramadhan, masyarakat Indonesia berbondong-bondong melakukan tradisi tahunan, yaitu mudik. Pergerakan jutaan orang dalam waktu yang bersamaan ini menjadi fenomena besar yang melibatkan berbagai aspek kehidupan.
Mudik membutuhkan energi dan sumber daya yang sangat besar. Pemerintah mengalokasikan anggaran triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur transportasi, seperti jalan, pelabuhan, dan bandara, demi memastikan kelancaran perjalanan.
Berbagai instansi pemerintah juga turut serta dalam persiapan ini. Rekayasa lalu lintas diterapkan untuk mengurai kepadatan, sementara kebijakan cuti bersama dibuat agar masyarakat bisa mudik dengan lebih nyaman. Banyak perusahaan, organisasi, dan komunitas pun mengadakan program mudik bersama.
Bagi yang menggunakan transportasi umum seperti pesawat, kereta, kapal, atau bus, tiket sudah dipesan jauh-jauh hari agar tidak kehabisan. Sementara itu, pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi menyiapkan segala sesuatunya, mulai dari servis kendaraan hingga oleh-oleh untuk keluarga di kampung halaman.
Secara budaya, mudik memiliki makna mendalam. Ada pepatah yang mengatakan, “Sejauh apa pun merantau, kampung halaman tetap dirindukan.” Pepatah lain menyebutkan, “Kacang lupa akan kulitnya,” sebagai pengingat agar tidak melupakan asal-usul kita.
Mudik bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan emosional. Momen ini menjadi kesempatan untuk mengenang masa kecil, bertemu keluarga, serta kembali ke akar kita. Namun, jika dipikirkan lebih dalam, perjalanan ini hanya berlangsung singkat—paling lama dua minggu—namun persiapannya begitu matang dan luar biasa.
Lalu, bagaimana dengan perjalanan kita yang sesungguhnya, yaitu kembali kepada Sang Pencipta? Persiapan apa yang sudah kita lakukan untuk menghadapi kematian, sebagai bentuk “mudik” menuju kehidupan yang kekal?
Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa kematian seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua. Cepat atau lambat, setiap manusia pasti akan kembali kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa kehidupan akhirat jauh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (QS Al-An’am: 32, QS Al-A’raf: 169).
Oleh karena itu, marilah kita memperkuat iman, meningkatkan ketakwaan, dan memperbanyak amal saleh sebagai bekal menuju perjalanan pulang yang hakiki. Semoga ibadah Ramadhan yang telah kita jalani menjadi bekal yang cukup untuk menghadapi pertemuan dengan Sang Khalik.