
Oleh: Achmad Mu’min
LDII Aceh – Manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Bahkan, dalam hidup sehari-hari, tanpa kita sadari, kita bisa saja menyakiti hati orang lain, menzaliminya, atau mengambil haknya. Islam sebagai agama rahmat sangat memperhatikan bagaimana seorang muslim memperlakukan sesamanya. Tak hanya hubungan vertikal dengan Allah SWT, hubungan horizontal antar manusia pun tak kalah pentingnya.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat lemah” (QS. An-Nisa: 28). Ayat ini menjadi penegasan bahwa manusia pasti punya titik lalai. Namun, kelemahan bukanlah alasan untuk terus-terusan mengulang kesalahan, terutama dalam hal interaksi sosial.
Islam tidak hanya menilai kualitas ibadah dari banyaknya rakaat shalat atau jumlah hari berpuasa, tetapi juga dari seberapa bersih hati kita terhadap sesama manusia. Rasulullah ﷺ pernah bersabda tentang orang yang bangkrut di akhirat, _”Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula harta.’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, namun dia juga datang dengan membawa dosa mencaci maki orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain, dan memukul orang lain. Maka semua kebaikannya diberikan kepada orang-orang yang ia zalimi. Jika kebaikannya habis sebelum tuntas membayar dosanya, maka dosa-dosa mereka dipindahkan kepadanya lalu dia dilemparkan ke neraka.’” (HR. Muslim).
Hadis ini menohok. Betapa seseorang bisa tampak saleh secara lahiriah, namun karena tidak menjaga lisannya, tangannya, dan sikapnya terhadap sesama, seluruh amal baiknya ludes tak bersisa. Inilah “kebangkrutan spiritual” yang seharusnya paling ditakuti oleh setiap muslim.
Manusia adalah makhluk sosial. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar terhadap gangguan mereka, lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak bergaul dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Ibnu Majah). Dari sini kita paham, pergaulan dengan sesama adalah keniscayaan, namun juga medan penuh potensi kesalahan.
Dalam interaksi sosial, gesekan tak bisa dihindari. Ada yang secara sengaja menzalimkan, ada pula yang tanpa sadar melukai hati orang lain. Namun, dampaknya tetap sama, dosa kepada sesama manusia tidak selesai hanya dengan istighfar.
Dosa kepada Allah bisa dihapus dengan taubat dan ampunan-Nya. Tapi dosa kepada sesama menuntut penyelesaian langsung kepada orang yang dizalimi. Inilah mengapa Nabi Muhammad ﷺ sangat menekankan agar kita tidak menzalimi siapapun, bahkan dalam perkara yang dianggap remeh.
Contoh paling umum adalah hutang. Banyak orang merasa sudah cukup dengan niat akan membayar, namun tak kunjung melunasi. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda, “Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya sampai dibayar.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Hutang adalah urusan dunia yang akan terus terbawa hingga ke akhirat jika tidak diselesaikan.
Begitu pula dengan mencela, memfitnah, menipu, atau mengambil keuntungan dari kepercayaan orang lain. Semua ini akan dicatat sebagai bentuk kezhaliman, dan balasannya tidak hanya di dunia, tapi bisa berujung pada pengambilalihan pahala di akhirat.
Apa artinya ibadah salat tahajud tiap malam jika lisan kita tajam melukai saudara? Apa gunanya puasa Senin-Kamis jika kita masih tega memfitnah tetangga? Ini adalah ironi besar yang kadang tidak kita sadari dalam beragama.
Allah Maha Pengampun, namun manusia bisa jadi tidak. Itulah sebabnya dosa kepada manusia wajib diselesaikan langsung, atau kita akan menghadapi “peradilan” Allah di akhirat—dengan cara yang sangat mengerikan, penukaran pahala.
Tentu kita tak ingin amal kita yang telah kita kumpulkan dengan susah payah harus dibagikan kepada orang lain hanya karena kita pernah menyakitinya. Maka, sebaik-baik manusia adalah yang ringan tangannya untuk meminta maaf, dan mudah hatinya untuk memaafkan.
Allah berfirman, “Tolaklah kejahatan dengan cara yang lebih baik; maka tiba-tiba orang yang di antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fussilat: 34). Ayat ini adalah panduan berperilaku sosial dengan pendekatan penuh rahmat.
Menjadi manusia pemaaf bukan berarti lemah, tapi cerminan kekuatan spiritual. Kita bisa menahan amarah dan tidak menyimpan dendam, karena kita sadar bahwa semua urusan yang belum selesai di dunia akan diadili secara sempurna oleh Allah.
Namun, jangan lantas berlindung di balik kalimat “manusia tempatnya salah” sebagai dalih untuk tidak memperbaiki diri. Justru pengakuan itu harus menjadi motivasi agar kita lebih berhati-hati dalam berucap dan bersikap.
Apalagi di era media sosial, fitnah, hujatan, dan caci maki terasa sangat ringan untuk dilakukan. Padahal, semua itu bisa menjadi sebab kebangkrutan di akhirat kelak jika kita tidak bertobat dan meminta maaf kepada pihak yang dizalimi.
Setiap kita adalah calon tertuduh di hadapan Allah jika tak menyelesaikan hak orang lain. Bayangkan, amal kita yang terbatas harus dibagi kepada banyak orang karena kelalaian dan dosa sosial yang kita lakukan.
Maka, sebelum ajal menjemput, mari bersihkan hubungan dengan sesama. Minta maaf, lunasi hutang, pulihkan luka yang pernah kita sebabkan, dan jangan biarkan urusan dunia menjadi beban akhirat.
Jadilah hamba Allah yang tak hanya rajin beribadah tapi juga berakhlak mulia kepada sesama. Karena ukuran kebahagiaan akhirat tidak hanya ditentukan oleh hubungan dengan Allah, tapi juga bagaimana kita menjaga hubungan dengan manusia.
Mari hidup dengan prinsip, jangan menyakiti, jangan menzalimi, dan jangan menunda minta maaf. Karena dosa kepada manusia bisa membangkrutkan seluruh kebaikan yang selama ini kita banggakan. Na’udzubillah min dzalik.