Seseorang yang iri akan sulit merasa bahagia atas keberhasilan orang lain. Ia akan cenderung menyebar fitnah, menebar kebencian, bahkan bisa berbuat zalim demi menurunkan orang yang ia iri.

Oleh: Achmad Mu’min
LDII Aceh – Hati bukan hanya organ biologis yang berfungsi memompa darah. Dalam perspektif Islam, hati adalah pusat spiritual, tempat munculnya niat, keyakinan, dan dorongan moral. Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh menjadi baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh menjadi rusak. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa hati memegang peranan vital dalam menentukan baik buruknya seseorang. Bukan fisik atau lisan yang menjadi ukuran utama, melainkan bagaimana kerja hati membentuk karakter dan tindakan. Ia bisa menjadi sumber kebaikan, namun juga bisa jadi sebab kebinasaan.
Al-Qur’an pun menyebut hati dalam banyak ayat. Dalam Surah Asy-Syu’ara ayat 88-89: “Pada hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” Hati yang bersih (qalbun salim) menjadi syarat keselamatan akhirat.
Sebaliknya, hati yang dipenuhi penyakit akan menjauhkan seseorang dari kebenaran. Penyakit hati seperti iri, dengki, sombong, dan ujub bukan hanya merusak hubungan antarmanusia, tapi juga menjauhkan dari ridha Allah. Hati yang kotor bisa membuat seseorang membenci kebaikan dan menikmati keburukan.
Contoh nyata bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang iri akan sulit merasa bahagia atas keberhasilan orang lain. Ia akan cenderung menyebar fitnah, menebar kebencian, bahkan bisa berbuat zalim demi menurunkan orang yang ia iri.
Begitu juga dengan dengki. Dengki adalah keinginan agar nikmat orang lain hilang, meski dirinya tidak mendapat apa-apa. Ini adalah bentuk kerusakan hati yang sangat berbahaya. Ulama menyebut dengki sebagai penyakit hati yang tersembunyi namun sangat merusak amal dan hubungan sosial.
Tidak jarang, penyakit hati ini menyelinap dalam bentuk-bentuk kecil yang tak terasa. Seorang pekerja bisa memendam benci hanya karena rekan kerjanya mendapat pujian. Seorang tetangga bisa menyimpan rasa kesal hanya karena mobil baru diparkir di sebelah rumahnya.
Padahal, jika hati bersih, semua ini bisa dihindari. Hati yang sehat akan melahirkan empati, sabar, dan toleransi. Ia memandang kesuksesan orang lain sebagai inspirasi, bukan ancaman. Ia tidak akan merasa rendah ketika orang lain naik, karena ia tahu bahwa rezeki dan takdir di tangan Allah.
Dalam hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya apabila seorang mukmin melakukan dosa, maka di hatinya akan muncul satu titik hitam. Jika ia bertobat, hatinya akan kembali bersih. Namun jika ia terus melakukan dosa, maka titik hitam itu akan terus bertambah hingga menutupi seluruh hatinya.” (HR. Tirmidzi).
Bayangkan bila hati kita dipenuhi titik-titik hitam itu. Tak hanya sulit menerima nasihat, bahkan sulit melihat mana yang benar dan salah. Inilah bahayanya hati yang terus membiarkan diri dalam kesalahan tanpa usaha memperbaiki.
Hidup bermasyarakat pun menuntut hati yang bersih. Tanpa itu, tak akan ada kedamaian. Hubungan antar teman, keluarga, tetangga, hingga bangsa pun bisa hancur jika manusia membiarkan hatinya dikendalikan oleh nafsu buruk.
Hati yang baik akan membawa seseorang pada akhlak mulia. Ia akan ringan membantu, sabar menghadapi kesalahan orang lain, dan lapang dada saat disakiti. Hati seperti ini tak lahir begitu saja, melainkan hasil dari mujahadah (kesungguhan) dalam menjaga diri dari penyakit hati.
Ada banyak cara untuk menjaga hati. Pertama, dengan banyak berdzikir. Dzikir mengingatkan hati kepada Allah dan mengikis debu-debu dunia. Kedua, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an. Ketiga, melakukan introspeksi diri.
Kita juga perlu menjauhkan diri dari lingkungan yang toksik. Lingkungan yang dipenuhi ghibah, adu domba, dan kebencian hanya akan memperburuk kondisi hati. Berkumpullah dengan orang-orang yang menularkan semangat kebaikan dan ketulusan.
Tidak ada manusia yang sempurna, dan hati pun bisa jatuh sakit kapan saja. Namun, selama kita menyadari dan mau memperbaiki, Allah membuka pintu taubat selebar-lebarnya. Jangan pernah menunda pembersihan hati.
Sebagaimana jasad butuh makan dan olahraga agar tetap sehat, hati pun butuh asupan ruhani dan latihan. Dengan terus memperbaiki niat, menjaga ucapan, dan menghindari prasangka, hati bisa tetap jernih meski hidup di tengah keruwetan dunia.
Keinginan hati juga bisa menjadi pemicu kebaikan. Ketika hati menginginkan kebaikan, maka tubuh akan terdorong melakukannya. Tetapi jika hati condong pada nafsu dan keserakahan, maka tubuh akan mengikuti jalan yang gelap. Di sinilah pentingnya menjaga orientasi hati.
Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati. Maka tak ada gunanya berpura-pura. Kita bisa menipu orang lain, tapi tidak bisa menipu Allah SWT. Maka jujurlah pada hati sendiri. Jika mulai terasa gelap, cepatlah mencari cahaya-Nya.
Kita hidup bukan untuk saling menjatuhkan, tapi saling menguatkan. Hati yang bersih akan melahirkan masyarakat yang damai dan penuh cinta. Itulah modal utama untuk membangun kehidupan yang berkah dan penuh rahmat.
Maka, mari kita rawat hati. Karena hati yang baik adalah sumber dari segala kebaikan. Sebaliknya, hati yang rusak bisa menghancurkan semua kebaikan yang tampak dari luar. Sebelum memperbaiki dunia, mulailah dengan memperbaiki hati sendiri.