Teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia, namun kini justru banyak yang menjadi budaknya.

Oleh: Achmad Mu’min
LDII Aceh – Di era digital ini, media sosial telah menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap detik, jutaan orang terhubung dengan Facebook, Twitter, YouTube, Tiktok, dan platform lainnya. Namun, keterhubungan yang awalnya menawarkan kebebasan, lambat laun berubah menjadi rantai tak kasat mata yang membelenggu waktu, pikiran, dan bahkan jiwa.
Kita hidup dalam dunia yang ironis. Teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia, namun kini justru banyak yang menjadi budaknya. Satu notifikasi kecil bisa membuyarkan konsentrasi, mengganggu produktivitas, bahkan merusak kesehatan mental. Media sosial bukan lagi hiburan, tapi candu yang membuat banyak orang tak mampu melepaskan diri.
Setiap hari, kita bangun bukan untuk berdoa dan bersyukur, tapi untuk mengecek ponsel. Siapa yang menyukai unggahan kita semalam? Siapa yang membalas komentar kita? Siklus ini terus berulang, menghisap energi dan waktu berharga yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermakna.
Kecanduan media sosial tak selalu disadari. Banyak yang menganggap itu bagian dari rutinitas modern. Padahal, ketika seseorang tak bisa makan tanpa memotret makanannya, atau merasa cemas jika tidak membuka Instagram dalam satu jam, itu adalah tanda-tanda awal bahwa teknologi telah menguasai kesadaran.
Bahkan yang lebih menyedihkan, hubungan antar manusia menjadi semakin dangkal. Kita lebih peduli dengan angka like daripada dengan tatapan mata orang yang duduk di depan kita. Percakapan yang dulu hangat kini digantikan dengan emoji dan pesan singkat yang dingin dan terburu-buru.
Fenomena ini juga menyerang anak-anak muda. Alih-alih bermain dan bersosialisasi di dunia nyata, mereka sibuk membangun citra palsu di dunia maya. Identitas mereka dibentuk bukan dari nilai dan karakter, tetapi dari filter dan algoritma.
Media sosial menciptakan ilusi tentang kehidupan orang lain. Semua terlihat bahagia, sukses, dan penuh warna. Padahal, kenyataannya sering kali jauh berbeda. Ini menimbulkan rasa iri, rendah diri, dan perasaan tidak cukup, yang semuanya berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Waktu produktif pun perlahan hilang. Lima menit scrolling berubah menjadi satu jam tanpa terasa. Tugas tertunda, lupa ibadah, pekerjaan terbengkalai, dan peluang berharga terlewat hanya karena terlalu asyik di dunia digital yang fana.
Bahkan kreativitas kita mulai tumpul. Kita lebih suka meniru tren daripada menciptakan hal baru. Kita mengikuti arus demi validasi sosial, bukan karena nilai atau tujuan yang kuat. Media sosial membuat kita takut berbeda.
Tak sedikit pula yang terjebak dalam debat kusir dan ujaran kebencian di kolom komentar. Kita lupa bahwa di balik layar itu ada manusia nyata, bukan sekadar avatar. Empati memudar, digantikan oleh ego dan hasrat untuk selalu merasa paling benar.
Di tengah semua ini, sangat penting untuk merenung: siapa yang sebenarnya mengendalikan hidup kita? Kita sendiri, atau algoritma yang mengatur timeline dan konten yang kita lihat setiap hari?
Perlu ada kesadaran kolektif untuk menata ulang cara kita menggunakan teknologi. Media sosial tidak harus dihapus, tapi harus dikelola. Kita yang harus memegang kendali, bukan sebaliknya.
Menentukan batas waktu penggunaan, membatasi aplikasi tertentu, dan mengambil waktu untuk “puasa digital” adalah langkah-langkah kecil yang bisa membawa perubahan besar. Kita harus berani melepaskan rantai itu, sebelum kita benar-benar kehilangan jati diri.
Waktu bersama keluarga harus kembali dimuliakan. Tatapan mata lebih penting daripada notifikasi. Sentuhan lebih berharga dari likes. Kehidupan nyata lebih layak dirayakan daripada kehidupan virtual yang penuh ilusi.
Sekolah dan institusi pendidikan juga harus berperan dalam mendidik generasi muda untuk melek digital secara bijak. Tidak sekadar bisa menggunakan, tapi juga tahu bagaimana tidak disalahgunakan.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teknologi. Ia adalah alat, dan kita yang menentukan bagaimana menggunakannya. Tapi jika kita lengah, alat itu bisa berubah menjadi jerat.
Sebagaimana tubuh kita butuh istirahat dari kerja, pikiran kita juga butuh jeda dari kebisingan digital. Ketenangan tidak bisa ditemukan di layar, tapi dalam kesadaran yang utuh tentang diri dan dunia sekitar.
Mari belajar menatap matahari terbenam, bukan hanya layar. Mari dengarkan suara hujan, bukan hanya suara notifikasi. Karena hidup yang sesungguhnya terjadi di luar layar, bukan di dalamnya.
Jika hari ini kamu masih merasa dikendalikan oleh media sosial, ingatlah, kamu punya pilihan untuk berhenti. Mulailah dari sekarang, bebaskan dirimu. Karena hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dalam penjara digital.