Sayangnya, banyak dari kita yang menjadikan shalat sebagai rutinitas fisik belaka. Gerakan cepat, bacaan tidak dipahami, dan hati yang tak hadir.

Oleh: Achmad Mu’min
LDII Aceh – Shalat lima waktu adalah kewajiban yang Allah tetapkan kepada setiap Muslim. Namun, benarkah kita sudah benar-benar menegakkan shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw? Jangan-jangan, kita hanya menggugurkan kewajiban, tanpa meraih hakikat dari ibadah ini.
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 43: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” Ayat ini tidak hanya menyuruh untuk shalat, tapi juga “mendirikan” shalat, yang berarti menunaikannya dengan syarat, rukun, adab, dan kekhusyukan yang sempurna.
Sayangnya, banyak dari kita yang menjadikan shalat sebagai rutinitas fisik belaka. Gerakan cepat, bacaan tidak dipahami, dan hati yang tak hadir. Padahal, Nabi Muhammad saw bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari). Ini perintah yang sangat jelas: shalat harus mencontoh langsung tata cara Rasul.
Shalat yang benar bukan hanya soal gerakan yang tertib. Ia dimulai dari niat yang ikhlas, thaharah yang sah, hingga tertib dalam menjalankan semua rukun. Termasuk di dalamnya adalah tumakninah—berhenti sejenak dalam setiap gerakan sampai semua anggota badan benar-benar tenang. Tanpa tumakninah, shalat bisa tidak sah.
Nabi saw pernah memperingatkan seseorang yang shalat dengan tergesa-gesa, beliau bersabda: “Kembalilah, karena sesungguhnya kamu belum shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat yang tidak sesuai dengan tuntunan, tidak bernilai di sisi Allah, bahkan bisa dikatakan belum shalat.
Lebih dari itu, shalat juga harus dilakukan dengan khusyuk. Allah berfirman dalam QS. Al-Mu’minun ayat 1-2: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” Kekhusyukan tidak datang dengan sendirinya. Ia hasil dari latihan, pemahaman makna bacaan, dan kesungguhan hati.
Salah satu penyebab kita sulit khusyuk adalah karena kita tidak memahami makna bacaan dalam shalat. Kita membaca Al-Fatihah, tapi tidak meresapi bahwa kita sedang berdialog dengan Allah. Kita mengucapkan Allahu Akbar, tapi hati masih tertambat pada dunia. Inilah yang membuat shalat terasa hampa.
Para sahabat Rasul, seperti Abu Bakar dan Umar, dikenal memiliki kekhusyukan luar biasa. Dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Bakar pernah menangis saat membaca Al-Fatihah dalam shalat, karena memahami betapa beratnya permintaan hidayah kepada jalan yang lurus. Umar bahkan pernah jatuh sakit karena satu ayat yang ia resapi dalam shalat.
Bagi Rasulullah, shalat adalah kebahagiaan. Beliau bersabda: “Kebahagiaanku ada dalam shalat.” (HR. Ahmad). Maka tidak heran jika dalam shalat malam, kaki beliau sampai bengkak. Bukan karena ingin pamer, tapi karena begitu dalam cinta dan harapannya kepada Allah.
Kita sering merasa cukup hanya karena “sudah shalat.” Padahal, Allah tidak hanya melihat kuantitas, tapi kualitas. Sebagian ulama mengatakan, seseorang bisa berdiri lama dalam shalat, tapi yang diterima Allah hanyalah sepertiga, seperempat, atau bahkan tidak ada sama sekali, karena tidak khusyuk dan tidak tumakninah.
Penting juga untuk tidak merasa ujub atau bangga diri dengan ibadah yang kita lakukan. Karena bisa jadi ada orang yang shalatnya sederhana, tapi karena ikhlas dan rendah hati, ia lebih dicintai Allah. Merendahkan ibadah orang lain juga bisa menjadi dosa yang menghapus pahala kita sendiri.
Ibadah itu seperti pohon: akarnya adalah iman, batangnya adalah ilmu, dan buahnya adalah amal yang ikhlas. Shalat yang dilakukan tanpa ilmu dan hati, hanya akan menjadi pohon kering tanpa buah. Sebaliknya, shalat yang benar akan membuahkan pahala dan mendekatkan kita pada Allah.
Penting untuk terus belajar tata cara shalat yang benar. Mulai dari menuntut ilmu tentang shalat dari seorang ustadz, mengikuti pengajian, hingga mengamalkan secara bertahap. Jangan merasa malu untuk mengaji, karena tujuan kita adalah memperbaiki hubungan dengan Allah.
Jangan tertipu oleh banyaknya rakaat, tetapi renungilah kualitas tiap gerakan. Lebih baik dua rakaat yang khusyuk daripada delapan rakaat yang kosong. Rasulullah pun mencontohkan shalat yang tidak panjang, tapi penuh penghayatan.
Mari kita evaluasi diri. Apakah bacaan shalat kita sudah benar? Apakah kita sudah tahu maknanya? Apakah hati kita hadir dalam tiap rukuk dan sujud? Pertanyaan-pertanyaan ini penting agar shalat kita tidak hanya menjadi kebiasaan, tapi menjadi sumber cahaya dalam hidup.
Ingatlah bahwa shalat adalah tiang agama. Jika tiangnya roboh, maka seluruh bangunan ibadah kita pun bisa runtuh. Maka dari itu, benahi shalat, maka seluruh amal akan ikut lurus.
Rasulullah saw adalah guru terbaik dalam hal shalat. Beliau bukan hanya mengajarkan, tapi memperagakan dengan penuh cinta. Shalat beliau bukan hanya untuk menggugurkan kewajiban, tapi sebagai sarana untuk bertemu Sang Kekasih: Allah azza wa jalla.
Semoga kita bisa meneladani shalat Nabi, menghidupkan ruh ibadah dalam diri, dan tidak puas hanya dengan rutinitas. Karena hanya dengan mengikuti Rasulullah sepenuhnya, shalat kita akan menjadi cahaya yang menerangi dunia dan akhirat.