Ilustrasi. Foto: sinergifoundation
Ibadah kurban merupakan salah satu amalan agung dalam Islam yang hanya dilakukan sekali dalam setahun, tepatnya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik setelahnya. Amalan ini bukan sekadar menyembelih hewan, tetapi memiliki dimensi spiritual, sosial, dan historis yang sangat mendalam.
Keutamaan kurban tercantum dalam banyak hadist dan ayat Al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amalan anak Adam pada hari Nahr yang lebih dicintai Allah selain menyembelih hewan kurban.” (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan betapa besar nilai ibadah ini di sisi Allah.
Kurban menjadi bentuk nyata dari ketundukan seorang hamba kepada Allah. Ia merelakan sebagian hartanya untuk menyembelih hewan yang bernilai, bukan untuk kesenangan pribadi, tapi untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berbagi kepada sesama.
Salah satu hikmah utama dari ibadah kurban adalah mengikis sifat kikir dan cinta berlebihan terhadap dunia. Sifat kikir adalah penyakit hati yang sering menghalangi manusia untuk bersedekah dan berbagi.
Allah berfirman: “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9). Maka, berkurban adalah latihan spiritual untuk melepaskan keterikatan terhadap dunia dan memurnikan niat untuk Allah semata.
Harta yang dikeluarkan untuk berkurban bukanlah kerugian, melainkan investasi akhirat. Ia menjadi bukti bahwa sang hamba lebih mencintai Allah daripada harta benda yang ia kumpulkan.
Selain berdimensi spiritual, kurban juga sarat dengan nilai sosial. Daging kurban dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan, mempererat ukhuwah, dan menghapus jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Saat daging kurban dibagikan ke berbagai lapisan masyarakat, terlihat jelas bahwa Islam menganjurkan kesetaraan. Semua mendapatkan bagian, semua bergembira, semua bersyukur.
Rasulullah SAW juga mencontohkan agar daging kurban dibagi-bagi: “Makanlah sebagian darinya, berilah makan orang yang menyimpannya dan berilah makan orang yang meminta.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari sisi historis, kurban adalah peringatan terhadap peristiwa besar antara Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail. Peristiwa itu menjadi simbol keikhlasan, ketundukan, dan keteguhan iman.
Nabi Ibrahim diperintahkan Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya yang sangat dicintainya. Dan ia pun bersiap melakukannya tanpa ragu, karena keyakinannya kepada perintah Allah begitu kuat.
Begitu pula Nabi Ismail yang tidak membantah, justru berkata dengan tegar: “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Ketaatan dan kesalehan keduanya menjadi pelajaran besar bagi umat Islam. Betapa ridha terhadap takdir Allah itu tidak mudah, namun bisa dilakukan oleh orang-orang yang berserah diri secara total.
Kisah ini bukan sekadar dongeng sejarah, tetapi warisan iman yang terus diperbarui setiap tahun lewat ibadah kurban. Kita diajak meneladani keteguhan mereka dalam menghadapi ujian berat.
Dalam setiap penyembelihan hewan kurban, terkandung makna simbolik bahwa manusia harus siap menyembelih hawa nafsu, ego, kesombongan, dan cinta dunia yang berlebihan.
Kurban bukan hanya tentang hewan, tetapi tentang ketulusan. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37).
Maka jelas bahwa nilai ibadah kurban terletak pada niat dan takwa. Jika niatnya hanya ingin pamer atau ikut-ikutan, maka tidak ada nilai spiritual yang diperoleh.
Di sisi lain, ibadah kurban juga melatih kita untuk bersikap empatik dan peduli terhadap sesama. Dalam masyarakat, masih banyak yang jarang sekali makan daging. Kurban adalah momen berbagi yang penuh keberkahan.
Daging kurban yang dibagikan bukan hanya mengenyangkan perut, tapi juga melembutkan hati orang yang menerimanya. Mereka merasa diperhatikan, dihargai, dan disayangi.
Ibadah kurban juga bisa menjadi jalan dakwah yang halus. Ketika kaum muslimin berbagi tanpa pamrih, tanpa memandang status atau latar belakang, maka citra Islam sebagai agama kasih sayang pun akan semakin tampak.
Dalam keluarga, berkurban juga mendidik anak-anak untuk memahami pentingnya berkorban, berbagi, dan menjauhi sifat kikir. Ini adalah pendidikan karakter yang nyata.
Mengajak keluarga melihat proses kurban, memahami maknanya, dan terlibat dalam pembagian daging, bisa menumbuhkan semangat gotong royong dan kasih sayang di tengah keluarga.
Kurban juga memperkuat solidaritas antarwarga. Ketika masyarakat bekerja sama menyembelih, membersihkan, dan membagikan daging, ada suasana kebersamaan yang tak tergantikan.
Dalam era modern yang individualistis ini, ibadah seperti kurban menjadi oase yang menyegarkan. Ia mengingatkan kita bahwa hidup tidak hanya tentang diri sendiri, tapi juga tentang memberi manfaat bagi orang lain.
Sebagai umat Nabi Muhammad, kita diajak untuk meneladani kebaikan beliau yang selalu peduli kepada umatnya. Beliau tidak pernah membiarkan tetangganya lapar sementara beliau kenyang.
Kurban juga memberi pesan bahwa Islam bukan agama simbolik, tapi agama yang penuh aksi nyata. Iman tanpa amal akan sia-sia. Kurban adalah bukti amal nyata dari iman yang mendalam.
Oleh karena itu, kita sebaiknya menyiapkan diri sebaik mungkin untuk melaksanakan kurban. Tidak menunggu kaya raya, tapi mulai dari niat yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh.
Bagi yang mampu, jangan tunda untuk berkurban. Karena setiap hewan yang disembelih akan menjadi saksi di hari kiamat, dan setiap tetesan darahnya membawa ampunan dari Allah.
Mari jadikan ibadah kurban tahun ini sebagai momentum untuk memperbaiki diri. Tingkatkan ketakwaan, tumbuhkan kepedulian, dan kikislah sifat kikir yang menghalangi keberkahan hidup.
Semoga kurban yang kita lakukan diterima oleh Allah, menjadi pemberat amal kebaikan, dan menjadikan kita pribadi yang lebih tulus, sabar, dan penuh kasih kepada sesama.