Banda Aceh – Idul Fitri menjadi momen refleksi bagi bangsa Indonesia untuk kembali kepada nilai-nilai demokrasi yang berlandaskan gotong-royong. Demokrasi yang diterapkan di Indonesia bukanlah demokrasi liberal yang mengutamakan kepentingan individu, melainkan demokrasi yang menjunjung kebersamaan dan musyawarah dalam menyelesaikan perbedaan.
Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, dalam pernyataannya menyambut Idul Fitri 1446 H, menekankan bahwa demokrasi Indonesia seharusnya tidak digunakan sebagai ajang untuk saling menghujat, melainkan sebagai sarana untuk bersama-sama mencari solusi atas kebijakan yang belum selaras dengan kepentingan rakyat.
“Demokrasi kita berlandaskan Pancasila, yang menanamkan semangat gotong-royong, saling menghargai, dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan, tetapi lebih pada kepentingan bersama,” jelasnya.
Idul Fitri juga menjadi kesempatan untuk membangun kembali akhlak bangsa yang mengedepankan persatuan dan kebersamaan. Mengingat sejarah, krisis moneter 1998 yang berujung pada krisis sosial telah memberikan pelajaran bahwa perpecahan hanya memperburuk keadaan masyarakat.
“Idul Fitri adalah waktu yang tepat untuk saling memaafkan, membersihkan hati dari dendam dan iri hati. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa penyakit umat terdahulu, yaitu dengki dan kebencian, dapat menghancurkan amal baik kita,” ungkapnya.
KH Chriswanto juga mengingatkan bahwa kehancuran suatu bangsa terjadi ketika penguasa dan oposisi tidak berkontribusi dalam kebaikan. Mengutip Surat Al-Hasyr ayat 10, ia menegaskan bahwa hati yang bersih dari kebencian dapat diusahakan dan bahkan menjadi bagian dari doa, “Sebagai bangsa, kita harus memohon kepada Allah agar dijauhkan dari rasa dengki terhadap sesama orang beriman,” tambahnya.
Ia juga mengimbau agar perbedaan pendapat tidak dijadikan alasan untuk saling bermusuhan. Konflik yang dibiarkan berlarut-larut hanya akan merugikan semua pihak, baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah SAW memperingatkan bahwa seseorang yang di akhirat membawa banyak pahala bisa menjadi bangkrut karena perbuatan buruknya di dunia, seperti mencaci, memfitnah, atau merugikan orang lain.
Selain itu, KH Chriswanto menyoroti perilaku masyarakat di media sosial yang sering kali bertolak belakang dengan budaya ramah tamah Indonesia. “Dunia menilai kita sebagai netizen yang tidak sopan. Jika cacian dibalas dengan cacian, maka kita juga ikut berbuat jahat. Inilah yang membuat demokrasi kita semakin panas dan penuh kemarahan tanpa solusi,” tegasnya.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan Idul Fitri sebagai momentum introspeksi dan perbaikan diri demi masa depan bangsa. “Indonesia terlalu berharga untuk dikorbankan demi kepentingan kelompok tertentu. Mari gunakan media sosial sebagai sarana kebaikan, bukan untuk menyebar kebencian, provokasi, dan fitnah,” pungkasnya.